Blog pribadi yang berisi kumpulan karya Jurnalistik. Berita, Feature, Opini, Artikel, Foto dan Video.

Powered by Blogger.

Perbedaan Taksi "Online" di Indonesia dengan Singapura

BANDUNG - Taksi, adalah salah satu transportasi umum yang belakangan ini menjadi hangat dibicarakan masyarakat yang tinggal di kota-kota besar Indonesia. Bukan karena pelayanannya, namun lebih kepada tingkah oknum yang terlibat di dalam bisnis taksi nasional.

Online, adalah suatu hal yang belakangan juga sering dibicarakan, integrasinya dengan beberapa sarana transportasi umum di Indonesia seperti taksi dan ojek, membuat masyarakat kini lebih memilih untuk menggunakan taksi atau ojek berbasis online ini karena faktor ketepatan waktu dan ongkos yang sesuai dengan jarak tempuh dan sistem lainnya yang terkomputerisasi secara detail.

Adanya taksi yang canggih ini selain berdampak positif pada kenyamanan penumpang, juga berdampak negatif bagi para stakeholder swasta bisnis transportasi taksi di Indonesia. Dampak negatif yang terbesar ialah "lapak" taksi konvensional yang "seolah-olah" sudah diambil oleh taksi berbasis online.

Berbagai aksi penolakan terhadap taksi online telah sering dilakukan, yang paling parah terjadi sekitar seminggu yang lalu, saat kumpulan supir salah satu taksi swasta melakukan unjuk rasa dengan menghadang arus jalanan ibukota dan merusak kendaraan taksinya sendiri.
Dilansir dari laman Kompas, tak seperti di Indonesia, transportasi konvensional di Singapura hidup berdampingan dengan transportasi online. Di beberapa sudut jalan yang notabene tempat pemberhentian angkutan, misalnya, orang juga bebas memilih kendaraan mana yang hendak dipakai, konvensional atau memesan online.

Di antara para sopir kendaraan itu, tak satu pun saling caci ketika ada yang lebih dulu mendapat penumpang. Begitu pula saat beberapa angkutan bersistem online menjemput satu dari penumpang yang menunggu itu, tak ada celetukan miring terlontar.


“Di sini, taksi konvensional dan taksi online penuh toleransi. Kami tak pernah bertengkar,” ujar Abdul Rashid Bin Kassim, si pengemudi mobil, dalam perjalanan pada malam itu.

Padahal, kata Rashid, transportasi online bisa jadi lebih laku daripada moda konvensional, seperti halnya di Indonesia, apalagi kalau sudah lewat tengah malam.

“Saat tengah malam, ada ongkos midnight untuk jasa transportasi konvensional. Karena itu, penumpang lebih suka naik taksionline,” ungkap Rashid.

Meski begitu, tak pernah ada komplain terkait soal itu. Terlebih lagi, ujar Rashid, ada regulasi dan hukum yang jelas bagi jasa transportasi online.

Sistem transportasi online dinyatakan legal di Singapura per 1 Desember 2015. Namun, para penyedia aplikasi layanan transportasi ini harus memiliki sertifikat khusus yang diterbitkan Pemerintah sebagai izin pengoperasian layanannya.

Dalam peraturan yang berlaku, tercakup pula ketentuan soal tarif perjalanan hingga cara pemesanan. Dengan itu, ada standar yang dijalankan bersama.

Lalu, para sopir layanan transportasi online pun mesti lulus ujian lisensi dari Land Transport Authority (LTA), lembaga khusus yang bertugas mengatur seluruh pelayanan transportasi, baik kereta, bus, maupun taksi. Lisensi ini dibuat untuk menentukan kepastian kualifikasi para pengemudi layanan transportasi online.

“Belum sepenuhnya diterapkan, karena baru empat bulan. Ya paling tidak, tiga bulan mendatang, semua sopir taksi onlineseperti saya sudah harus lulus uji lisensi,” imbuh Rashid.

Nah, kalau di Singapura bisa begitu, apakah di Indonesia tak bisa terjadi hal yang sama? Apakah perlu kita berguru juga ke Singapura untuk urusan yang ini?

0 Comment for "Perbedaan Taksi "Online" di Indonesia dengan Singapura"

Back To Top